|
Ilustrasi Dakwah |
Sore ini seperti biasa, saya silaturahim ke
calon mertua sekre KARISMA ITB, tepatnya di gedung kayu Lt.1 Kompleks Masjid Salman ITB.
Eh, saya belum cerita ya apa itu KARISMA, KARISMA itu
merk sepeda motor... bukan, bukan tipe motor Honda yg itu, tapi ini nama sebuah gerakan dakwah remaja.
KARISMA merupakan singkatan dari Keluarga Remaja Islam Salman ITB, sebuah unit dibawah naungan Yayasan Pembina Masjid (YPM) Salman ITB. Unit ini pertama kali didirikan tanggal 15 Maret 1981 di Bandung. Kegiatannya meliputi pembinaan rutin, rihlah bersama adik-adik SMP-SMA, Bimbingan Belajar (KLC), dll.
Ya, Keluarga Remaja Islam. Kalau kita lihat kondisi sebagian besar remaja sekarang yg semakin lama semakin menurun dalam akhlaknya, kita semua pasti merasa prihatin dan tergerak untuk memperbaikinya.
Dari situlah KARISMA bergerak merapatkan barisan, menetapkan tujuannya, yaitu "membentuk generasi rabbani yang seimbang ilmu, iman, dan amal. Untuk itu, KARISMA menetapkan visi menengahnya bahwa Karisma kelak akan menjadi pusat pembinaan remaja se-Bandung Raya. .
Singkatnya, membentuk remaja islam yang luar biasa.
Seperti dikutip dari websitenya:
"...mahasiswa muslim sebagai komunitas yang khas dalam masyarakat memiliki peran strategis untuk pengembangan umat, yaitu sebagai agen perubahan sosial yang menjadi faktor penggerak untuk terwujudnya kualitas kehidupan yang lebih baik..."
"Berdasarkan pemikiran diatas maka tanggal 15 bulan Maret tahun 1981 di Bandung dibentuklah sebuah organisasi yang merupakan suatu wadah pembinaan bagi remaja dan mahasiswa muslim di lingkungan masjid Salman."
Untuk tahu lebih lanjut, silahkan kunjungi
websitenya.
***
Sore itu, saya dan beberapa pembina KARISMA lainnya (Kang Friandha, Teh Azmi, Teh Leli) sedang berdiskusi tentang salah satu program KARISMA, yaitu Basic Training. Nah, dalam suasana itu, kang Ian (Friandha) menanyakan tentang pemateri dan berapa bingkisan yang sepantasnya diberikan.
Setelah beberapa saat, akhirnya sampailah pada suatu "curhatan" yang berlanjut dengan diskusi tentang "harga" yang harus diberikan sebagai ganti ilmu yg kita dapat dari pemateri.
Saat itu, di sekre KARISMA juga ada pembina, atau lebih tepatnya alumni KARISMA yang sedang
bertengger duduk di dekat jendela sambil asyik bekerja dengan laptopnya, yaitu Kang Surya Kresnanda. Beliau adalah seorang trainer yang telah bersertifikat NLP (CCNLP) yang juga pernah aktif di KARISMA. Jika anda tertarik untuk mengenal lebih jauh siapa beliau, silahkan search di google "Surya Kresnanda", karena kalau semua ditulis disini nanti jadinya iklan, dan masang iklan disini ngga gratis! *hehe* (bercanda kang.. :p)
Lanjut....
Singkat cerita Kang Surya yang memang biasa mampir ke sekre KARISMA di jam-jam istirahat ini, ikut menyimak pembicaraan kami, sambil sesekali bergantian melihat ke arah laptop dan ke arah kami yang sedang berdiskusi.
Mendengar pembicaraan kami yang seperti kebingungan dan kurang jelas, Kang Surya pun akhirnya ikut angkat bicara. Beliau menyampaikan pandangannya tentang pentingnya memberikan penghargaan terhadap pemateri, khususnya untuk ilmu tentang akhirat.
Hal ini beliau rasa penting, karena seringkali kita lihat banyak dari kita kurang memperhatikan hal tersebut ketika mengundang atau memohon bantuan pemateri untuk mengisi dalam suatu acara, entah itu sebagai pembicara seminar, fasilitator training, bahkan pemateri untuk kegiatan kaderisasi organisasi.
Kami pun satu-persatu menyampaikan tanggapan mengenai hal tersebut
. Entah itu dalam bentuk "curhat" tentang pengalaman, atau cuma sekedar bercanda, tapi semua punya pemikiran yang hampir sama.
Beberapa, termasuk saya, berpendapat bahwa sebenarnya masalah itu terkadang membingungkan, karena di satu sisi kita ingin memberikan penghargaan sebesar-besarnya, namun lantaran terbatasnya dana yang dipunyai, akhirnya mau tidak mau "bingkisan" untuk pemateri pun dikurangi.
Lain lagi halnya ketika kita ingin memberikan "bingkisan" dalam jumlah besar, entah itu dalam bentuk uang atau bingkisan makanan, kita jadi berfikir ulang untuk memberikannya, karena seringkali pemateri menolak untuk diberi dan menyerahkannya kembali kepada panitia. Sehingga tak jarang hal ini menjadi ramai diperebutkan, (terutama apabila bentuknya konsumsi) hehe...
Bagi yang pernah atau berada di posisi yang pertama, bisa jadi ada niat baik untuk memberi penghargaan, tetapi karena ada hambatan yang belum bisa diatasi, akhirnya dengan perasaan berat hati memberikan "bingkisan" yang ala kadarnya, bahkan tidak jarang hanya berupa plakat ucapan terima kasih.
Atau mungkin, kita termasuk yang mempunyai keyakinan "dakwah harus gratis", artinya apapun kegiatan yang mendukung dakwah, tidak sepantasnya kita membayar untuk itu dengan harga mahal, karena darpada uang, dakwah itu akan dibayar dengan pahala yang lebih besar.
Seringkali, kita berasalan bahwa karena penyampaian materi itu dalam rangka dakwah, maka seharusnya tidak perlu kita membayar mahal, karena kita yakin bahwa si pemateri itu ikhlas menyapaikan ilmunya. Maka, kita berfikir bahwa kalau kita membayar mahal itu, kesannya dakwah itu harus bayar, padahal dakwah seharusnya dilakukan dengan ikhlas tanpa mengharap imbalan.
Hal ini yang kurang disetujui oleh beliau.
Saya sendiri pun (penulis, red) juga berpendapat bahwa masalah ikhlas atau tidak itu urusan pribadi sang pemateri dengan Allah SWT, kita tidak perlu menjaikan itu urusan kita, sehingga dengan enaknya bilang kalau ada pemateri yang dibayar mahal itu "nggak ikhlas", atau "Mata duitan".
Untuk menjawab permasalahan itu, Kang Surya pun membeberkan beberapa hikmah tentang menghargai ilmu. Beliau menceritakan beberapa kisah pemateri, dan juga pengalamannya pribadi terkait memberi penghargaan kepada pemateri.
***
Kang Surya menyampaikan, "Bukan masalah mata duitan, tetapi kita memberikan penghargaan selayaknya atas ilmu yang diberikan."
"Kalau kita mau berhitung, sebenarnya ilmu yang didapat dibandingkan dengan uang yang dibayarkan itu tidak sebanding. Ilmu yang didapat lebih mahal dari uang yang dibayarkan"
Kami semua sepakat. Namun kemudian yang menjadi pikiran kami adalah, berapa seharusnya yang selayaknya kita berikan kepada pemateri, mengingat seringkali si pemateri pun tidak begitu mematok (memasang harga mati) untuk ilmu yang beliau sampaikan, karena kami pun merasa hal ini kurang enak /
tabu untuk diperbincangkan.
Untuk menjawab itu, Kang Surya memberikan suatu permisalan
"Murah atau mahal itu relatif, tergantung objek yang kita jadikan patokan."
Misalnya, kalau kita ingin membeli sesuatu, katakanlah harganya 2.000.000 (dua juta rupiah), apakah itu mahal?
"Menurut Azmi, dua juta itu mahal tidak, Uang dua juta itu mahal tidak?", tanya Kang Surya.
Teh Azmi menjawab,
"Tergantung kang.."
"Kalau permen satu bungkus, dua juta?", Kang Surya menimpali.
"Mahal banget..", kami semua menyahut dengan wajah heran.
"Kalau New Kijang Innova seharga 2.000.000?", Kang Surya kembali bertanya.
"Murah Bangeet!", seketika kami menjawab lantang dengan wajah seolah tidak percaya mendengar pertanyaan itu.
Melihat kami sudah paham arah pembicaraan ini, Kang Surya akhirnya memberi kesimpulan dan tausiah:
"Nah, kita seringkali berfikir bahwa untuk mengundang pemateri itu harus semurah-murahnya, padahal ilmu yang didapat sangat banyak. Coba bayangkan, pemateri harus menyiapkan materinya, tentu tidak singkat dan butuh waktu, memangnya beliau tidak butuh waktu untuk hidup? banyak waktu yang ia korbankan untuk menyusun materi, sementara penghargaan yang kita berikan tidak setimpal, bisa jadi dzalim kan?"
Kami semua mengangguk tanda setuju, disertai sedikit perasaan malu karena merasa bersalah.
Bandingkan ketika kita mengundang pembicara untuk ilmu-ilmu dunia, atau band-band yang tidak memberi banyak manfaat, kita berani membayarnya dengan mahal; sementara untuk pemateri, ustadz yang menyampaikan ilmu akhirat, masa kita tidak mau memberikan lebih?
Mungkin diantara kita masih ragu untuk memberikan penghargaan kepada pemateri dalam bentuk uang yang jumlahnya besar, karena dirasa terlalu mahal, terutama kalau memang anggaran untuk acara terbatas. Hal itu menurut Kang Surya kembali pada strategi masing-masing, bagaimana mengatasai hal itu. Mungkin engan dibebankan kepada peserta melalui uang pendaftaran, atau memperbanyak sponsor, sesuai kebutuhan.
Kang Surya juga menambahkan, bahwa budaya menghargai pemateri itu harus dimulai dan terus ditumbuhkan, apalagi untuk gerakan dakwah seperti KARISMA, yang tidak jarang mengundang pemateri yang luar biasa dalam setiap kesempatan.
Wallahu A'lam bisshawab.
Senin, 7 November 2011
14.00 @ Sekre Karisma
*Mohon maaf apabila ada kata-kata yang kurang berkenan bagi sahabat sekalian. Silahkan menyampaikan tanggapannya atas kasus di atas, semoga kita semua bsa mengambil hikmahnya. Buat Kang Surya, syukron atas ilmu yang disampaikan, gratis kan kang? hehe...